Dhinèng carana nyalèn Bahasa Indonesia ḍâ' ka Bhâsa Madhura ampon èjhârbâ'âghi neng artikel sè abhul-ombhul Menerjemahkan Cerpen dari Bahasa Lain. È bâbâ ka'ḍinto mènangka conto sè bisa èbhâḍhi tolaḍhâ ka'angghuy nyalèn carèta panḍâ' ḍâri Bahasa Indonesia ḍâ' ka Bhâsa Madhura.
TERLAMBAT KE SEKOLAH
ḌÂTENG MOḌI KA SAKOLA’AN
"Ma, Feli berangkat. Assalamualaikum" dengan sedikit berlari, aku menuruni anak tangga dengan tas ransel yang berada di punggungku. Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh dan gerbang sekolah akan di tutup lima belas menit lagi.
"Sayang, pelan-pelan. Minum dulu susunya” ujar mama yang melihat kelakuanku dari dapur.
“Udah nggak sempat ma” tolakku yang masih berlari menuju garasi.
Aku segera mengeluarkan motor maticku, memanaskannya sebentar sebelum membawanya menuju sekolah. Jalanan cukup ramai dengan pengendara lain mulai dari angkutan umum, sepeda motor, mobil atau sepeda ontel sekalipun.
Dengan muka ditekuk, aku sedikit melajukan kecepatan motorku. Menyalip kendaraan lain dengan konsentrasi yang begitu serius karena ini sama saja mempertaruhkan nyawa.
Aku menyebrang jalan raya. Tepat di depanku adalah gerbang sekolah yang sudah menjadi tempat belajarku selama kurang lebih dua tahun lamyanya belakangn ini. Gerbang sekolah sudah akan ditutup oleh satpam. Bahkan satpam sekolah sudah menutup pagarnya setengah. Aku segera menyebrang melewati gerbang. Nafas kelegaan kini terhembus dari mulutku.
“Maaf Pak” ujarku saat melihat Pak Satpam sedikit terkejut dengan lajunya motor yang aku kendarai.
Setelah memarkirkan motor di tempat parkir, aku berjalan dengan gerakan cepat menuju kelas. Untungnya aku mendapati kelas di lantai dasar. Coba saja jika aku mendapatkan kelas di lantai tiga, sudah hampir terlambat, harus mempercepat jalan menaiki tangga ke kelas belum lagi sebentar lagi bel kumpul akan berbunyi.
Aku meletakkan tas di kursi depan, teman-teman kelasku terlihat sudah bersiap akan pergi menuju lapangan. Hari ini hari senin, hari di mana semua sekolah mengadakan upacara pagi untuk menghargai jasa para pahlawan yang telah berjuang memerdekakan negara tercinta ini, Indonesia.
Aku membuka resleting tas untuk mengambil topi. Setelah topi berwarna abu-abu dengan nama sekolahku sebagai identitas itu berada di tanganku, aku berjalan mengikuti langkah yang lainnya menuju lapangan. Terlihat siswa-siswi sudah berbaris sesuai kelasnya masing-masing, aku memilih baris di belakang, saat tanganku sedang sibuk memakai topi, ada sebuah suara melengking yang seakan ingin merusak indra pendengaranku. Menyebalkan sekali.
"YA ALLAH FELI GUE KIRA LO TERLAMBAT” ujar Dina dengan heboh
Dina adalah sahabatku sejak kami melaksanakan MPLS (Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah) di hari pertama masuk sekolah. Sudah dua tahunan lebih kami berteman dan duduk sebangku terus, kecuali jika guru yang mengatur tempat duduk.
Aku memutar bola mata mendengar teriakan Dina yang mengundang berbagai tatapan berbeda bagi yang mendengarnya.
"Dimohon untuk peserta upacara baris yang tertib, sebentar lagi upacara pagi akan dimulai. Dan seperti biasa, yang tidak lengkap silahkan memisahkan diri" Kepala sekolah berkata dengan lantangnya di tengah-tengah lapangan dengan mic yang berada di genggamannya.
Aku sebaris dengan Dina yang berada di sebelahku, pembawa upacara sudah membacakan susunan upacara menandakan upacara akan dimulai. Suara gaduh dari peserta upacara pun kini sudah tak terdengar lagi.
Upacara terlaksana dengan lancar, setelah pembubaran dari pemimpin upacara, kini seluruh barisan mulai meninggalkan lapangan. Aku dan Dina berjalan menuju kantin, kami memiliki waktu lima belas menit sebelum kegiatan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) dimulai, dan itu sangat tidak akan aku sia-siakan mengingat aku juga belum sarapan tadi pagi.
Kantin terlihat ramai seperti biasa, aku dan Dina duduk di kursi panjang yang masih kosong "Pesen apa Fel" tanya Dina
"Emm, nasi putih sama air mineral aja deh. Laper gue"
"Oke"
Dina berjalan menuju jejeran ibu-ibu, tangannya mengambil dua nasi kotak dan air mineral di kulkas. Dina membayar belanjaannya. Setelah penjual mengembalikan kembaliannya, Dina berjalan menuju ke arahku yang menunggunya.
Dina meletakkan pesanan kami di atas meja. Meja yang awalnya aku duduki sendiri kini sudah di isi dengan temanku dan Dina. Suasana ramai kantin yang seakan sudah menjadi hal wajar kini menemani sarapan pagiku. Padahal, biasanya aku selalu sarapan di rumah bersama mama. Bahkan menginjakkan kaki ke kantin di pagi hari seakan bisa di hitung jari aku lakukan.
"Gue denger-denger ada guru baru" Edo, ketua kelas di kelas kami yang selalu mempunyai segudang informasi tentang sekolah mulai membicarakan penemuannya. Seperti biasa, gosip.
"Ah, sok tau lo Do"
"Iya bener"
"Ye, di kasih tahu nggak percaya. Awas aja lo pada kalau gue punya hot news. Gue barusan dari kantor dan desas-desusnya sekolah kita bakalan ada guru baru meski gue nggak tahu guru apa dan siapa"
Aku sesekali menimpali percakapan mereka dengan tetap memakan sarapanku hingga habis. Aku terbiasa sarapan pagi dan setiap kali tidak sarapan seperti saat ini, perutku rasanya selalu mulas dan panas. Mungkin faktor maag yang aku derita juga, meski bukan maag kronis.
Kami kembali ke kelas setelah mendengar bel masuk berbunyi. Mata pelajaran yang pertama adalah Bahasa Madura. Dan setiap kali pelajaran Bahasa Madura, Guruku pasti memerintahkan untuk membuka web berisi materi pelajaran Bahasa Madura yang sudah sangat lengkap. Sudah pasti web itu membutuhkan yang namanya paket data, dan paket data tersebut dibeli dengan cara iuran di kelasku kemudian dikumpulkan ke bendahara kelas. Adapun hotspotnya menggunakan hape empat biji, tapi yang menseting hotspotnya tetap dipegang oleh ketua kelas.
Jika Edo ketua kelas, jabatanku adalah wakil ketua kelas. Dimana aku adalah tangan kanan Edo dan harus siap sedia sewaktu-waktu. Edo juga termasuk anggota Osis. Anak itu memiliki jadwal yang sibuk, sudah ketua kelas, anggota Osis belum lagi ekskul Paskibnya. Miris. Padahal sudah kelas tiga.
Aku dan Edo langsung mengisi paket data pada empat hape tadi, kebetulan paketannya memang sudah habis. Memang paketan tersebut harus habis dalam waktu satu hari sekaligus mullai dari pagi hari sampai sepulang sekolah.
Setelah paketan hape tersebut kami isi dan setiap hape harus kami nyalakan hotspotnya agar internetnya bisa dipakai siswa dalam satu kelas. Hape tersebut tidak dipegang siapapun, sebab hape itu milik kelas yang memang dikhususkan untuk keperluan pelajaran di kelas yang didapat dari uiran teman-teman kelas. Sebenarnya sekolah sudah menyediakan wifi, setiap kelas juga sudah ada, tapi ya gitu jika yang makai banyak langsung ngeleg alias muter-muter.
Edo memimpin doa, setelah selesai dia mengintrupsikan kami untuk berdiri dan memberikan salam yang juga di jawab oleh Pak Guru.
"Selamat pagi, silahkkan duduk" kami yang semula berdiri kini kembali duduk.
"Ayo buka web serbaserbiilmu.com di Google kemudian masuk ke memu pencarian temukan materi yang berjudul “CARA MENERJEMAH BAHASA INDONESIA KE BAHASA MADURA”
”Bagaimana ketemu?”
"Sudah Pak"
Setiap guru memiliki cara tersendiri untuk mengajar, dan Pak Zen ini jika mengajar bisa menyenangkan hati, orangnya penyabar tapi tegas dan lagi yang paling disukai oleh teman-teman jika sudah waktunya mengajar pasti di sela-sela dia mengajar ada saja candaan yang lucu sehingga membuat teman-teman tertawa lepas di kelas. Terkadang saking lucunya sampai-sampai ada teman yang pipis di kelas gara-gara gak kuwat menahan gelak tawa. Ada juga yang sampai berguling-guling sampai nangis-nangis bercucuran air matanya tapi dengan nada suara bukan tangisan ya tertawa terbahak-bahak itu.
Enaknya lagi jika Pak Zen yang ngajar teman-teman tidak perlu membawa buku paket yang begitu tebal atau LKS sebab semua isi materinya sudah ada di webnya beliau. Ketika ngajar sering berkata “saya tidak mau memberatkan kalian”. Jadi asik bila waktunya Pak Zen tas terasa ringan, materinya cukup dibuka lewat hape tinggal klik sudah muncul. Jika seandainya semua mata pelajaran sama seperti punyanya Pak Zen kan enak.
“Ma’, Feli mangkat ghi. Assalamualaikum” kalabân ḍing-ngènḍing, engko’ toron ḍâri ḍhâk-onḍhâk sambi aghinḍhung tas ransel. Jhâm la nodhuwâghi pokol satengnga pètto’ bân labâng gâliḍighân sakola’an bhâkal ètotop lèma bellâs mennit agghi’.
"Sayang, pelan-pelan. Minum dulu susunya” ujar mama yang melihat kelakuanku dari dapur.
“Bhing, on-laon. Ènom ghâllu susuna” ḍhâbuna emma’ sè ngoladhi pola tèngkana engko’ ḍâri ḍâpor.
“Udah nggak sempat ma” tolakku yang masih berlari menuju garasi.
"Ampon ta' kaèbhet ma'" engko' ta' enḍâ' sambi berka' ka garasi.
Aku segera mengeluarkan motor maticku, memanaskannya sebentar sebelum membawanya menuju sekolah. Jalanan cukup ramai dengan pengendara lain mulai dari angkutan umum, sepeda motor, mobil atau sepeda ontel sekalipun.
Engko’ ru-kabhuru makalowar sapèḍa motor tang matic, nganga’è sakejjhâ’ sa’bellunna ètompa’ ka sakola’an. Neng jhâlân cè’ rammèna rèng-orèng kalabân tompa’anna bâng-sèbâng molaè ḍâri ekkol, sapèḍa motor, motor kantos sapèḍâ beḍḍal paḍâ bâḍâ.
Dengan muka ditekuk, aku sedikit melajukan kecepatan motorku. Menyalip kendaraan lain dengan konsentrasi yang begitu serius karena ini sama saja mempertaruhkan nyawa.
Kalabân mowa reng-nyoreng, engko’ nambâi sakonè' santa'na jhâlânna sapèḍâ. Nyalèp tatompa’anna rèng laèn kalabân konsentrasi sè cè’ ghu-ongghuna karana arèya paḍâ bhâi bân ataro nyabâ.
Aku menyebrang jalan raya. Tepat di depanku adalah gerbang sekolah yang sudah menjadi tempat belajarku selama kurang lebih dua tahun lamyanya belakangn ini. Gerbang sekolah sudah akan ditutup oleh satpam. Bahkan satpam sekolah sudah menutup pagarnya setengah. Aku segera menyebrang melewati gerbang. Nafas kelegaan kini terhembus dari mulutku.
Engko’ megghâ’ lorong. Teppa’ neng è yaḍâ’na engko’ labâng gâliḍighânna sakola’an sè la dhâddhi kennengnganna engko’ nyarè èlmo korang lebbi la ḍu taon abiddhâ. Labâng jârèya ella ètotopa bi’ satpam. Mala labâng paghârrâ la ètotop saparo bi’ satpam. Engko’ lajhu nyalodur maso’ ka ḍâlem. ḍâḍâna engko’ arassa legghâ sambi ngonjhu’âghi nyabâ.
“Maaf Pak” ujarku saat melihat Pak Satpam sedikit terkejut dengan lajunya motor yang aku kendarai.
“Saporana Pa’” oca’na engko’ bâkto nangalè Pa’ Satpan takerjhât sakonè’ ècapo' angènna sapèḍa motor èbâkto engko' lèbât è seddhi'na.
Setelah memarkirkan motor di tempat parkir, aku berjalan dengan gerakan cepat menuju kelas. Untungnya aku mendapati kelas di lantai dasar. Coba saja jika aku mendapatkan kelas di lantai tiga, sudah hampir terlambat, harus mempercepat jalan menaiki tangga ke kelas belum lagi sebentar lagi bel kumpul akan berbunyi.
Saellana nyabâ’ sapèḍa motor è parkiran, engko’ ḍing-ngènḍing sambi berka’ nojjhu ka kellas. Pojhurrâ kellassa engko’ bâḍâ è bâbâ. Oddhi opamana kellassa engko’ bâḍâ è ḍhâk-onḍhâk sè kapèng tello’ è yattas, sèla para’ moḍiyâ, kodhu ongghâ ka ḍhâk-onḍhâk sambi berka’ ghi’ sakejjhâ’ âgghi’ bel bhâkal amonyè.
Aku meletakkan tas di kursi depan, teman-teman kelasku terlihat sudah bersiap akan pergi menuju lapangan. Hari ini hari senin, hari di mana semua sekolah mengadakan upacara pagi untuk menghargai jasa para pahlawan yang telah berjuang memerdekakan negara tercinta ini, Indonesia.
Engko’ nyabâ’ ettas è korsè sè bâḍâ è yaḍâ’, ca-kanca masèna la mangkata ka tanèyanna sakola’an. Satèya arè sennèn, arè sè sakabbhinna sakola’an mabâḍâ upacara ghu-lagghu kaangghuy nga’-ngènga’è jhâsana para pahlawan sè la ajhuwâng mamardhika naghârâ rèya, Indonesia.
Aku membuka resleting tas untuk mengambil topi. Setelah topi berwarna abu-abu dengan nama sekolahku sebagai identitas itu berada di tanganku, aku berjalan mengikuti langkah yang lainnya menuju lapangan. Terlihat siswa-siswi sudah berbaris sesuai kelasnya masing-masing, aku memilih baris di belakang, saat tanganku sedang sibuk memakai topi, ada sebuah suara melengking yang seakan ingin merusak indra pendengaranku. Menyebalkan sekali.
Engko’ mokka’ resleting tang ettas kaangghuy ngala’ topi. Saellana topi sè bârnana bu-abu tomang sè bâḍâ nyamana tang sakola’an mènangka identitassa la bâḍâ è tanangnga engko’. Engko’ ajhâlân noro’ buntè’ kanca laènna nojjhu ka tanèyanna sakola’an. Sakabbhinna morèd la paḍâ ajhâjhâr abhâris neng bhârisânna kellassa bâng-sèbâng. Engko’ mèlè bhârisân è buḍi, è bâkto engko’ èmo’ masang topi, lajhu bâḍâ swara cè’ ranyèngnga raṭ-ṭaratan jâ’-sajâ’â kopèngnga engko’ paḍâna sè rosaka. Ongghu mabhellis.
"YA ALLAH FELI GUE KIRA LO TERLAMBAT” ujar Dina dengan heboh
“YA ALLAH FELI CA’NA ENGKO’ BÂ’NA MOḌI ḌÂTENGNGA” cerrèngnga Dina cè' ghâriḍuna.
Dina adalah sahabatku sejak kami melaksanakan MPLS (Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah) di hari pertama masuk sekolah. Sudah dua tahunan lebih kami berteman dan duduk sebangku terus, kecuali jika guru yang mengatur tempat duduk.
Dina la akanca bân engko’ sajjhegghâ engko’ bân Dina noro’ MPLS (Masa Perkenalan Lingkungan Sekolah) è bâkto ghi’ bhuru maso’ ka sakola’an. La ḍu taon lebbi engko’ bân Dina akanca bân ko-lako toju’ sabangku bhâi, kajhâbhâ’â ghuru sè ngator katoju’ânna.
Aku memutar bola mata mendengar teriakan Dina yang mengundang berbagai tatapan berbeda bagi yang mendengarnya.
Engko’ maliyer bighina mata ngèḍing cerrèngnga Dina sè madhâddhi bânnèyan pandhengnga orèng sè ngèḍing.
"Dimohon untuk peserta upacara baris yang tertib, sebentar lagi upacara pagi akan dimulai. Dan seperti biasa, yang tidak lengkap silahkan memisahkan diri" Kepala sekolah berkata dengan lantangnya di tengah-tengah lapangan dengan mic yang berada di genggamannya.
“Ḍâ’ ka rèd-morèd sè noro’ upacara mara abhâris patartèb, skejjhâ’ agghi’ upacara bhâkal èmolaè. Bân paḍâna sè biyasana, sè ta’ jhângkep rarengghânna sopajâ apèsa” Kepala Sekolah aḍhâbu kalabân ranyèngnga neng nga’-tengnga’anna tanèyanna sakola’an sambi merghem emmic.
Aku sebaris dengan Dina yang berada di sebelahku, pembawa upacara sudah membacakan susunan upacara menandakan upacara akan dimulai. Suara gaduh dari peserta upacara pun kini sudah tak terdengar lagi.
Engko’ sabhâris bân Dina sè bâḍâ è seddhi’na engko’, parèntèng lampa la maca rèntèngan lampa nanḍhâ’âghi jhâ’ upacara bhâkal èmolaè. Sowara rammè ḍâri na’-kana’ la paḍâ sèrep ta’ èkaèḍing polè.
Upacara terlaksana dengan lancar, setelah pembubaran dari pemimpin upacara, kini seluruh barisan mulai meninggalkan lapangan. Aku dan Dina berjalan menuju kantin, kami memiliki waktu lima belas menit sebelum kegiatan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) dimulai, dan itu sangat tidak akan aku sia-siakan mengingat aku juga belum sarapan tadi pagi.
Upacara èlampa’aghi kalabân lancar, samarèna upacara èpabhubhâr bi’ sè ngatowaè, satèya sakabbhinna bhârisan la paḍâ mencar ḍâri tanèyan. Engko’ bân Dina èntar ka kantin, morèd èberri’ bâkto lèma bellâs mennit sa’bellunna KMB (Kegiatan Belajar Mengajar) èmolaè, bân bâkto jârèya ta’ kèra èpaèlang parcoma polana engko’ ghi’ ta’ nyarap ghellâ’ ghu-lagghu.
Kantin terlihat ramai seperti biasa, aku dan Dina duduk di kursi panjang yang masih kosong "Pesen apa Fel" tanya Dina
Kantin abâsânna rammè paḍâna sè biyasana, engko’ bân Dina toju’ è korsè lanjhâng sè ghi’ taḍâ’ ngennengngè “Mellèya apa Fel” Dina atanya.
"Emm, nasi putih sama air mineral aja deh. Laper gue"
“Emm, nasè’ potè bân aèng mineral bhâi la. Lapar engko’”
"Oke"
“Oke”
Dina berjalan menuju jejeran ibu-ibu, tangannya mengambil dua nasi kotak dan air mineral di kulkas. Dina membayar belanjaannya. Setelah penjual mengembalikan kembaliannya, Dina berjalan menuju ke arahku yang menunggunya.
Dina ajhâlân nojjhu ka bhu-èbhu sè ajhijhir, tanangnga ngala’ nasè’ koṭak ḍâḍuwâ’ bân aèng mineral è kulkas. Dina majâr apa sè èbelli. Saellana sè ajhuwâl mabâli so’-soso’na, Dina ajhâlân nojjhu ka engko’ sè la jhât tos-antosan.
Dina meletakkan pesanan kami di atas meja. Meja yang awalnya aku duduki sendiri kini sudah di isi dengan temanku dan Dina. Suasana ramai kantin yang seakan sudah menjadi hal wajar kini menemani sarapan pagiku. Padahal, biasanya aku selalu sarapan di rumah bersama mama. Bahkan menginjakkan kaki ke kantin di pagi hari seakan bisa di hitung jari aku lakukan.
Dina nyabâ’ kakanan jârèya è yattassanna mèja. Mèja sè molana èkatoju’i bi’ engko’ kadhibi’ satèya la bâḍâ sè ngennengngè polè. Kabâḍâ’ân è kantin rammè jhât la dhâddi parkara biyasa ngancaè sarapan bâjâ lagghuna engko’. Ghântè’, biyasana engko’ lako nyegghâ è bengko abhâreng emma’. La-mala rang-rang soko rèya nèddhâ’ ka kantin è bâjâ lagghu jhâ’ sakènga èbitong bisa ngangghuy ghârighi’.
"Gue denger-denger ada guru baru" Edo, ketua kelas di kelas kami yang selalu mempunyai segudang informasi tentang sekolah mulai membicarakan penemuannya. Seperti biasa, gosip.
“Engko’ ḍing-ngèḍing bâḍâ ghuru anyar” Edo, katowa kellas è kellassa engko’ sè lako anḍi’ saguḍâng berta ngèngèngè sakola’an molaè acaca apa sè èkataowè. Paḍâna sè biyasana, gosip.
"Ah, sok tau lo Do"
“Sèyah, o-matao bâ’na Do”
"Iya bener"
“Iyâ ongghuwân”
"Ye, di kasih tahu nggak percaya. Awas aja lo pada kalau gue punya hot news. Gue barusan dari kantor dan desas-desusnya sekolah kita bakalan ada guru baru meski gue nggak tahu guru apa dan siapa"
“Bhiyah, è berri’ tao ta’ parcajâ. Sènga’ yâ bâ’na kabbhi mon la engko’ anḍi’ hot news. Engko’ bhuru èntar ka kantor masèna sakola’an rèya bhâkal kaḍâtengngan ghuru anyar maskèna engko’ ta’ tao ghuru apa bân sapa”
Aku sesekali menimpali percakapan mereka dengan tetap memakan sarapanku hingga habis. Aku terbiasa sarapan pagi dan setiap kali tidak sarapan seperti saat ini, perutku rasanya selalu mulas dan panas. Mungkin faktor maag yang aku derita juga, meski bukan maag kronis.
Engko’ ḍhâng-kaḍhâng acokcak ḍâ’ catorra kana’ jârèya kalabân pagghun ngompa’ nasè’ sampè’ marè. Engko’ la biyasa nyegghâ ghâ’âgghu bân bilâ engko’ ta’ nyegghâ paḍâna satèya, tabu’ rèya lako arassa moles bân panas. Palèng yâ polana panyakè’ maag sè jhât èkaanḍi’ engko’, sanajjhân bânnè maag kronis.
Kami kembali ke kelas setelah mendengar bel masuk berbunyi. Mata pelajaran yang pertama adalah Bahasa Madura. Dan setiap kali pelajaran Bahasa Madura, Guruku pasti memerintahkan untuk membuka web berisi materi pelajaran Bahasa Madura yang sudah sangat lengkap. Sudah pasti web itu membutuhkan yang namanya paket data, dan paket data tersebut dibeli dengan cara iuran di kelasku kemudian dikumpulkan ke bendahara kelas. Adapun hotspotnya menggunakan hape empat biji, tapi yang menseting hotspotnya tetap dipegang oleh ketua kelas.
Engko’ sakanca’an abâli ka kellas samarèna ngèḍing bel maso’ amonyè. Pangajhârân sè ka aḍâ' yâ Bhâsa Madhurâ. Bân sabbhân bâkto pangajhârân Bhâsa Madhurâ, tang ghuru masṭè nyoro mokka’ web sè essèna matèri Bhâsa Madhurâ sè la cè’ ghenna’na. Masṭèna mon web rèya marlowaghi sè nyamana pakèt data, bân pakèt data jârèya èkabelli kalabân oronan è kellassa engko’ pas èpakompol ka bendahara kellas. Dhinèng hotspotta ngangghuy hapè pa’-empa’. Tapè sè ngator hotspotta pagghun ètengghu’ katowa kellas.
Jika Edo ketua kelas, jabatanku adalah wakil ketua kelas. Dimana aku adalah tangan kanan Edo dan harus siap sedia sewaktu-waktu. Edo juga termasuk anggota Osis. Anak itu memiliki jadwal yang sibuk, sudah ketua kelas, anggota Osis belum lagi ekskul Paskibnya. Miris. Padahal sudah kelas tiga.
Mon Edo katowa kellassa, engko’ sè dhâddhi bâkkèlla katoa kellas. Sè èḍimma engko’ sè dhâddhi tanang kanganna Edo bân kodhu siyap sabbhân bâkto. Edo tamaso’ ka anggauta Osis kèya. Kana’ jârèya anḍi’ jadwal sè bânnya’, sèla katowa kellas, anggauta Osis ghi’ ta’ ekskul Paskibbhâ. Marèngès. Ghântè’ la kellas tello’.
Aku dan Edo langsung mengisi paket data pada empat hape tadi, kebetulan paketannya memang sudah habis. Memang paketan tersebut harus habis dalam waktu satu hari sekaligus mullai dari pagi hari sampai sepulang sekolah.
Engko’ bân èdo jhujhuk ngessè’è pakètan data sè bâḍâ neng pa'-empa’ hapè ghellâ’, kaḍhâpa’aan bâkto jârèya pakètanna la taḍâ’. Pajhât pakètan jârèya èpataḍâ’ saarè ḍhâk-sakala molaè ḍâri lagghu sampè’ molèna sakola’an.
Setelah paketan hape tersebut kami isi dan setiap hape harus kami nyalakan hotspotnya agar internetnya bisa dipakai siswa dalam satu kelas. Hape tersebut tidak dipegang siapapun, sebab hape itu milik kelas yang memang dikhususkan untuk keperluan pelajaran di kelas yang didapat dari uiran teman-teman kelas. Sebenarnya sekolah sudah menyediakan wifi, setiap kelas juga sudah ada, tapi ya gitu jika yang makai banyak langsung ngeleg alias muter-muter.
Samarèna ngessè’è pakèt data bhân-sabbhân hapè jârèya kodhu èyoḍi’i hotspotta sopajâ bisa èkarobhut internetta bân na’-kana’ sakellas. Hapè jârèya taḍâ’ sè negghu’, polana hapèna anḍi’na kellas sè pajhât èkhusussâghi ka’agghuy kaparlowanna pangajhârân neng kellas sè èkabelli lèbât oronan sabharengngan. Saongghuna sakola’an anḍi’ wifi dhibi’, bân sabbhân kellas la pajhât èsaḍiyâ’âghi, tapè yâ rowa mon la bânnya’ sè ngangghuy bisa ngellèg aliyas aoleng.
Edo memimpin doa, setelah selesai dia mengintrupsikan kami untuk berdiri dan memberikan salam yang juga di jawab oleh Pak Guru.
Edo ngolowaghi adhuwâ, samarèna adhuwâ Edo ngajhâk na’-kana’ sopajâ manjheng kaangghuy aberri’ salam bân èjâwâb bhâreng Pa’ Ghuru.
"Selamat pagi, silahkkan duduk" kami yang semula berdiri kini kembali duduk.
“Moghâ salamet bâjâ lagghu, mara toju’” engko’ bân sakanca’an sè molana manjheng lajhu pas toju’.
"Ayo buka web serbaserbiilmu.com di Google kemudian masuk ke memu pencarian temukan materi yang berjudul “CARA MENERJEMAH BAHASA INDONESIA KE BAHASA MADURA”
“Mara bukka’ web serbaserbiilmu.com è Google pas maso’ ka menu pencarian sarè materi sè abhul-ombhul “CARA MENERJEMAH BAHASA INDONESIA KE BAHASA MADURA”
”Bagaimana ketemu?”
“Bârâmma ètemmo?”
"Sudah Pak"
“Èngghi èpangghi Pa’”
Setiap guru memiliki cara tersendiri untuk mengajar, dan Pak Zen ini jika mengajar bisa menyenangkan hati, orangnya penyabar tapi tegas dan lagi yang paling disukai oleh teman-teman jika sudah waktunya mengajar pasti di sela-sela dia mengajar ada saja candaan yang lucu sehingga membuat teman-teman tertawa lepas di kelas. Terkadang saking lucunya sampai-sampai ada teman yang pipis di kelas gara-gara gak kuwat menahan gelak tawa. Ada juga yang sampai berguling-guling sampai nangis-nangis bercucuran air matanya tapi dengan nada suara bukan tangisan ya tertawa terbahak-bahak itu.
Bhân-sabbhân ghuru anḍi’ carana dhibi’ kaangghuy ngajhâr, bân Pa’ Zen rèya mon ngajhâr nyennengngaghi ka atèna na’-kana’, orèngnga sabbhâr tapè tegghes bân polè sè palèng èkasennengngè na’-kana’ mon la bâjâna ngajhâr masṭè neng sellana ngajhâr èsessellè kanḍhâ bân ghâjâ’ saèngghâ bisa maghellâ’ ka na’-kana’ neng kellas. Kaḍhâng ḍâri locona sampè’ bâḍâ kanca sè tagher takemmè neng kellas ècapo’ ta’ kowat sè aghellâ’ân kel-bhâjhikel. Bâḍâ kèya sè tagher aghulur neng kellas kantos ngès-tatangès ngaghârâbhâs aèng matana, tapè sowarana ta’ nangès yâ aghellâ’ân jârèya.
Enaknya lagi jika Pak Zen yang ngajar teman-teman tidak perlu membawa buku paket yang begitu tebal atau LKS sebab semua isi materinya sudah ada di webnya beliau. Ketika ngajar sering berkata “saya tidak mau memberatkan kalian”. Jadi asik bila waktunya Pak Zen tas terasa ringan, materinya cukup dibuka lewat hape tinggal klik sudah muncul. Jika seandainya semua mata pelajaran sama seperti punyanya Pak Zen kan enak.
Nyamanna polè mon bilâ Pa’ Zen sè ngajhâr ca-kanca ta’ osa ngèbâ buku paket sè tebbel otabâ buku LKS polana sakabbhinna essèna matèri la bâḍâ è webbhâ Pa’ Zen. Bilâ ngajhâr biyasana ampo aḍhâbu “engko’ ta’ maberrâ’â na’-kana’ morèd”. Dhâddhi nyaman ongghu mon bilâ bâktona Pa’ Zen ettas arassa ḍhâmmang, matèrina la cokop èbukka’ lèbât hapè karè mècè’ la temmo metto. Jhâ’ sakènga’a sakabbhinna pangajhârân èpapaḍâna kaaghunganna Pa’ Zen kan nyaman.***
Posting Komentar
Komentar yang dirasa merugikan situs ini akan dihapus. Terima kasih telah berkunjung